Apakah Kriteria Jodoh Yang Saya Buat, Sudah Pasti Terbaik di Mata-Nya? – bagian 2

tulisan ini adalah lanjutan dari http://www.elmina-id.com/apakah-kriteria-jodoh-yang-saya-buat-sudah-pasti-terbaik-di-mata-nya-bagian-1/

***

Mari kita cermati perlahan-lahan.

Kita memiliki sifat pemarah, maka kita berpikir, adalah wajar jika kita menginginkan pasangan yang penyabar.

Tapi benarkan dengan begitu sesungguhnya kita belum siap menikah?

Bisa jadi demikian. Karena hal ini menandakan kita belum siap berubah menjadi lebih baik. Kita ingin sifat pemarah kita mendapat tempat. Diakui. Diterima dan dimaklumi. Sementara pasangan kita bagaikan ‘tempat sampah’ yang siap menampung, dan dengan sifat sabarnya dia akan berusaha terus memahami kita yang tak (mau)  berubah.

Lihatlah betapa semena-menanya kita. Mungkin benar jika nasihat di atas mengatakan bahwa kita sungguh egois karena tidak mau mengurangi sifat buruk yang kita miliki. Alih-alih menjadi pribadi yang belajar berubah, kita ngotot mencari pasangan yang siap menjadi sansak, dengan dalih agar saling melengkapi. Mengapa tak kita ubah cara berpikir kita, bahwa dengan menikah kita juga akan berusaha mengurangi sifat pemarah tersebut?

Itu yang pertama.

Yang kedua, mari kita simak firman Allah dalam Al Qur’an,

“Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui” (QS. Al Baqarah 216)

Mungkin kita benar soal menganalisa sifat diri. Mungkin kita tak keliru mengenali kekurangan disana-sini. Tapi, apakah kita yakin bahwa sejumlah kriteria yang kita tulis, adalah benar-benar yang terbaik bagi kita? Apakah ia juga benar-benar yang terbaik di mata Allah?

Mencari sosok pendamping dengan kriteria tertentu tidaklah salah. Namun sesungguhnya kita tidak pernah tahu, apakah sederet kriteria tersebut sesuai dengan keinginan Allah atau tidak. Kita tidak tahu, apakah si penyabar adalah jodoh yang ideal buat kita atau tidak. Sebab seperti firman Allah di surat Al Baqarah tadi, boleh jadi apa yang menurut kita baik, ternyata malah buruk di mata Allah. Seperti juga sebaliknya, apa yang menurut kita buruk, malah baik menurut Allah.  Dengan begitu sudah semestinya kita mengedepankan dan meninggikan tawakkal kepada Allah tentang siapa pasangan kita kelak. Boleh jadi Allah ternyata memasangkan kita dengan orang yang sama-sama emosional, karena Allah ingin kita belajar mengendalikan diri saat berhadapan dengannya. Saat bertengkar dan sama-sama dikuasai amarah, rupanya Allah ingin kita berlatih mengendalikan emosi yang membara. Dan lihatlah, bukankah ini adalah pembelajaran untuk mengurangi sifat buruk yang kita punya?

Begitulah. Pencarian jodoh mungkin saja tampak rumit di kepala kita yang merumitkannya. Padahal Rasulullah saw telah mengatakan dalam haditsnya,

“Jika datang kepada kalian lelaki yang baik agamanya (untuk melamar), maka nikahkanlah ia. Jika kalian tidak melakukannya, niscaya akan terjadi fitnah dan kerusakan besar di muka bumi” 
(HR. Tirmidzi, Ibnu Majah)

Tidak banyak kriteria yang bermacam-macam. Hanya “baik agamanya”, di samping boleh saja kita mempertimbangkan kesekufuan / kesetaraan dalam hal harta, keturunan dan sebagainya. Namun pesannya adalah jangan sampai hal-hal yang sekunder menjadi pertimbangan utama dan mengalahkan hal yang primer. Apalagi jika kita meyakini bahwa jodoh adalah misteri yang tidak diketahui siapapun kecuali Allah SWT.  Kalau sudah begini, bukankah yang patut dikedepankan adalah berserah sepenuhnya kepada Allah setelah segala ikhtiar terkerah?

Maka, nasihat berikutnya untuk diterapkan adalah meluruskan niat kita dalam menikah. Kita tentu ingin menjaga diri dari berbuat maksiat. Ingin membina rumah tangga dan keturunan yang baik. Ingin memiliki tempat berbagi yang halal dan diberkahi. Jika ini telah kita pahami, maka persoalan kepribadian dan hal lainnya insyaa Allah tidak akan menjadi besar. Karena toh dalam perjalanannya kita akan belajar melapangkan dada menerima perbedaan. Kita juga akan berproses menjadi lebih baik dengan berbagai gesekan.

Kesiapan diri dalam menikah selayaknya dibekali dari ilmu tentang pernikahan itu sendiri. Tentang berumah tangga, memahami pasangan, mendidik anak, dan sebagainya. Jadi mari geser fokus kita untuk mengupgrade diri dengan ilmu-ilmu pernikahan dan rumah tangga, bukan bersibuk dengan rentetan kriteria.

Lalu, bismillah. Jika telah lurus niat kita, maka mengalir saja dalam proses yang terjadi. Sekali lagi, kita tidak pernah tahu siapa jodoh terbaik di mata Allah untuk kita. Berdoa sepenuh harap, berpasrah total dalam tawakkal, adalah kunci agar kita mampu memulai proses menuju pernikahan dengan hati ringan.

Wallahu a’lam bish shawab.

***

picture : https://celiac.org/live-gluten-free/lifestyle/gluten-free-candy-lists/gluten-free-lifestyle/valentines-day-candy-list/


Posted

in

by

Tags: